IKLAN

Laman

Sabtu, 24 April 2010

Solusi untuk Lemari Berjamur

Lemari Partikel BoardGuna menambah ruang penyimpanan pakaian, saya membeli sebuah lemari dari bahan partikel board (semacam papan dari hasil serpihan kayu yang dicampur lem). Namun belum genap usianya sebulan, tiba-2 lemari tersebut telah ditumbuhi jamur yang bikin sesak pernapasan. Jamur ini kemudian coba saya bersihkan, tapi dalam hitungan hari, jamur-2 tersebut muncul kembali sehingga sempat membuat saya stress sehingga akhirnya mencoba mencari solusi dari berbagai media di internet. Setelah mengumpulkan berbagai tips dan mencobanya satu persatu..akhirnya berhasil yang kemudian saya bagikan bagi Anda yang ingin mencobanya.
Berikut adalah langkah-2 yang saya lakukan hingga berhasil , :
  1. Membuka jendela kamar setiap hari untuk sedikit mengusir hawa kamar yang lembab karena jamur suka tumbuh di hawa yg lembab. Terkadang saya juga menggunakan media kipas angin jika cahaya matahari tidak terlalu banyak masuk.
  2. Dibawah Lemari saya letakkan sebuah alas papan kayu yang bertujuan untuk menahan hawa lembab dari lantai kamar.
  3. Pada lemari saya oleskan alkohol dan jika penggunaan alkohol tidak mampu melawan jamur, Anda dapat menggunakan bahan pelapis bening seperti Melamin atau pernis untuk menutupi media tumbuhnya jamur.
  4. Gunakan bahan penyerap lembab dan bau yang dapat dibeli dipasaran. Letakkan bahan-2 tersebut didalam Lemari atau di dalam kamar agar bisa menyerap air yang ada diudara.
  5. Gunakan penerangan menggunakan lampu TL jika kamar Anda benar-2 kekurangan cahaya. Lampu jenis TL cukup membantu mengusir jamur karena efek ultravioletnya.
Selamat mencoba dan semoga tips ini juga berhasil untuk diterapkan di tempat Anda.

mengatasi jamur di lemari

Musim hujan gini lemari pakaian di kamarku pada jamuran.. sampai akhirnya semua pakaian diungsikan dulu supaya gak kena jamurnya..
sepertinya kalo lemari dari bahan “particle board” yang lapisan luarnya pake kertas mudah sekali jamuran pada saat udara lembab.
aku searching di mbah google untuk cari tips mengatasi jamur tsb. Akhirnya aku dapet dua tips, tapi sepertinya lebih baik kalo dua-duanya diterapkan sekaligus.
pertama, bersihkan jamur tersebut dengan alkohol. beli aja alkohol di toko kimia, lebih murah dan lebih pekat, sekitar 96-98%, tapi gak tahu kalo beli sendiri, aku sih nitip sekalian dikantor he.. he..
fungsinya alkohol tsb selain untuk membersihkan jamur, juga sekaligus  mematikan jamur, dan alkohol akan cepat menguap sehingga kayu lemari tidak lembab.
setelah bersih baru dicat pake cat kayu yang bening, dari bahan melamin. Aku beli namanya melamix, harganya 38 ribu satu kilo komplit dengan hardenernya. Untuk mengencerkan catnya bisa pake tiner. jadi catnya dicampur dengan hardener dulu semuanya, terus diencerin pake tiner secukupnya lho.. jangan semuanya.. he.. he..
aduk yang rata, terus baru dicat dah lemarinya..  tapi sebaiknya ngecatnya diluar rumah, soalnya tinernya itu bisa membuat pedih di mata, dan setelah di cat, kalo dimasukin rumah, tinernya lama sekali hilangnya.
berhubung musim hujan, lemarinya aku simpen diruang tamu, tapi sampe dua hari baunya belum hilang juga….
nah, kalo dah kering bisa dipake lagi tuh lemarinya.. hasilnya lebih kinclong dan bahkan kedap air.. karena sudah dilapisin melamin..

Tips Menghilangkan Jamur di Lemari

batuk-batuk setelah membersihkan lemari pakaian dan meja belajar
si sulung. Saat musim hujan tembok lembab sehingga lemari dan meja belajar
dari partikel board (serpihan kayu yang dicampur lem dan dicetak menjadi
papan) itu berjamur. Mebelair terbuat dari partikel board yang harganya
jauh lebih murah dari yang terbuat dari kayu apalagi kayu jati dan bisa
dirakit sendiri karena knock down.

Sempat mengamati mengapa lemari pakaian dan meja belajar itu berjamur
padahal meja komputer yang terbuat dari bahan yang sama dan lebih lama
kumiliki justru tidak berjamur. Setelah mengorek-ngorek ternyata bahan
pelapis luarnya yang berbeda. Meja komputer pelapis luarnya dari plastik
sedang dua mebelair yang berjamur pelapisnya semacam kertas mengkilap
bercorak seperti kayu.

Karena kelembaban udara yang tinggi di musim hujan, partikel board dengan
pelapis dari kertas menjadi media tumbuh jamur yang bagus. Jamur berwarna
biru kehitaman yang lembut seperti debu itu sangat mudah tumbuh. Sehari
setelah dibersihkan masih tetap tumbuh lagi. Sempat mecoba kuberi dengan
cairan pemutih pakaian yang konon bisa mencegah jamur ternyata tetap saja
jamur bercokol bahkan sporanya membuat terbatuk-batuk.

Akhirnya menemukan cara mencegah jamur tumbuh yaitu melapisi dengan cat
atas saran seorang kawan. Hanya saja kupikir kalau cat menutup corak
pelapis yang indah. Setelah bertanya ke beberapa toko bahan bangunan, ada
pelapis kayu yang tidak berwarna atau clear yaitu melamin. Biasanya bahan
ini sebagai pelapis terakhir mebelair yang dipelitur. Melamin diencerkan
dengan tinner dan dicampur hardener yang sudah disertakan. Cairan pelapis
itu dapat digunakan dengan kuas atau semprotan.

Sekaleng melamin sekilo dapat untuk melapisi lemari, meja belajar dan
pintu. Warna asli tetap kelihatan dan bertambah kinclong. Lebih penting
lagi mebelair dari partikel board bebas jamur.

Kamis, 15 April 2010

Wawancara Gus Dur di islamlib.com

Diarsipkan di bawah: Seputar pemikiran islam, Ust. Hartono Ahmad Jaiz — iaaj @ 4:31 am
Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini.
Berikut petikan wawancara M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir negeri ini pekan lalu.
JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang tentang pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa pandang bulu itu?
KH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur itu?! Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur. Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum menetapkan undang-undang. Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan kedua tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukannya adalah Mahkamah Agung.
Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara kita yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi prioritas kita bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu pelacuran itu juga sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau bikin seribu peraturan, tapi tidak ada peningkatan taraf kehidupan, pelacuran tidak akan pernah bisa tersentuh, boro-boro bisa dihilangkan. Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan berfungsi apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar.
JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?
Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik. Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun negara-negara bagian lain menggunakan undang-undang Anglo-Saxon. Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam undang-undang dasar mereka di sana semenjak awal, bukan ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.
JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.
JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah?
Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.
JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan ‘diarabkan’. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu?
Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.
JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
Ya itulah’ Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih… Dan persoalannya itu-itu saja.
JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?
Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.
JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’ Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’ Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).
JIL: Maksudnya?
Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam InJIL kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’
JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?
Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.
JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah disahkan. Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu?
Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling bertentangan. Di satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan beragama yang belum ada aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan dari berbagai pihak soal jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju pembangunan rumah ibadah, Red). Kedua, soal memberi hak kepada siapapun untuk melakukan ibadah. Di sini terjadi persinggungan.
Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama ini, saya menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A akan disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini terus, negara kita akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan suatu keputusan, isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita tahu sendirilah, Departemen Agama itu adalah departemen yang paling brengsek. Hal lain, pemerintah tidak boleh campur terlalu banyak dalam soal-soal agama, karena itu akan menggiring kita menjadi negara agama.
JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah yang konon serampangan?
Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan yang benar. Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah ibadah. Hal itu sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu mestinya bisa ditentukan dan dimediasi oleh kepala daerah masing-masing, bukan oleh peraturan. Dan, peraturan yang sudah ada saja yang dijalankan. Kalau ada pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di negara hukum.
JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur Jawa Barat yang tidak adil dong, Gus?
Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya yang dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?!
JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik Syiah-Sunni?
Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syi‘ah. Selanjutnya kata syi‘ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib.
Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan problem agama.
JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?
Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap berpotensi merebut kekuasaan.
Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas. Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.
JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?
Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlaw’hir walL’h yatawalla al-sar’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!
JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?
Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!
Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.
Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:
Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.
Komentar Wawancara Gus Dur : a. Menolak yang berbau Islam
Berikut ini komentar penulis terhadap wawancara Gus Dur (huruf-huruf tebal dari penulis) dengan cara mengutip wawancara, lalu penulis komentari.
Kutipan:
JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu (Perda Tangerang tentang pelacuran, pen) adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?
Gus Dur: Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.
JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?
Gus Dur: Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.
JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah?
Gus Dur: Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.
Komentar: Menolak yang berbau Islam
Ketika aturan dibuat di daerah, dan itu sekiranya dianggap berbau Islam, misalnya tentang melarang pelacuran, maka Gus Dur menolaknya, bahkan menyebutkan akan bisa kacau. Lebih dari itu ketika ditanya tentang otonomi daerah yang hendak mengatur persoalan agama, dan pertanyaan itu masih difahami sebagai agama Islam (karena kaitannya dengan pertanyaan tentang Perda mengenai larangan pelacuran) maka Gus Dur lebih tegas lagi menolaknya: ‘Sikap itu tidak benar.’
Sebaliknya, ketika Gus Dur ditanya tentang daerah-daerah yang mayoritas non-muslim apakah dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing (yang mayoritas itu, Bali Hindu, NTT Nasrani, Papua Nasrani, pen) dengan alasan otonomi daerah? Gus Dur buru-buru menjawab: ‘Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.’
Tampaknya, Gus Dur sangat jeli dalam hal menolak Islam sejauh-jauhnya. Sampai-sampai yang merupakan kemunkaran/keburukan yang sudah dimengerti oleh semua manusia bahwa pelacuran itu tidak baik pun, karena yang lebih peduli bicara tentang keburukan itu adalah umat Islam, maka Gus Dur menolaknya untuk adanya aturan pelarangan pelacuran. Itu bukan karena Gus Dur semata-mata setuju terhadap pelacuran, sebagaimana dia juga mengemukakan bahwa ‘pelacuran memang dilarang agama’; tetapi ketidak setujuan adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pelacuran, karena Gus Dur menganggapnya berkaitan dengan Islam. Pokoknya kalau berbau Islam, dan menurut endusan hidung Gus Dur, kira-kira akan masuk ke jalur aturan formal, maka dia tolak sekeras-kerasnya. Jadi Islam itu ibarat barang najis, jangan sampai menciprat ke aturan formal.
Sebaliknya, apa saja yang bukan Islam, tampaknya dia dukung untuk menghadapi Islam. Makanya tanpa malu-malu, dalam wawancara itu, setelah menolak apa-apa yang dianggap berbau Islam, lalu dengan tegasnya mempersilakan daerah-daerah yang non Islam-nya mayoritas untuk menerapkan aturan agama mereka (Bali Hindu, NTT Nasrani, dan Papua Nasrani). Bahkan Gus Dur sebut ‘Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.”
Itu pendirian apa? Kalau Islam, dia tolak sekencang-kencangnya. Tetapi kalau non Islam, dia persilakan selebar-lebarnya, bahkan dianggapnya sebagai konsekuensi, dan kita tidak usah ribut-ribut.
Menghadapi ungkapan Gus Dur itu, perlu ditanggapi dengan pergaulan pasaran, yang istilahnya : ‘Dia jual, maka kita beli’. Yaitu Gus Dur telah mempersilakan daerah-daerah yang mayoritas non Muslim untuk menerapkan aturan agama mereka, maka Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, (87% dari 220 jutaan penduduk), berarti dipersilakan untuk menerapkan Islam di Indonesia ini. Dan perlu kita pakai ucapan Gus Dur yang untuk mayoritas non Islam itu, di Indonesia ini untuk mayoritas Islam, yaitu ucapan Gus Dur: ‘Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.”
Gus Dur biar jadi juru bicara non Muslim, nanti ucapannya tinggal kita balikkan. Dia menuntut ‘hak’ non Muslim, kita menuntut hak Muslimin. Sayangnya, Gus Dur bukan hanya menuntut ‘hak’ non Muslim, tetapi juga menolak adanya kemungkinan hak Muslimin akan diberikan pada mustahiqnya (yang berhak). Sehingga sebagai pemain, Gus Dur bukan sekadar jadi pembela non Muslim (padahal mengaku Islam) tetapi juga menghalangi akan terwujudnya hak-hak Muslimin. Aneh!

Rabu, 14 April 2010

I'tiraf

Arti I'tiraf Sungguh Luar Biasa


Akhir-akhir ini saya sering mendengarkan lagu I'tiraf terutama yang dinyanikan hadad alwi,yang berasal dari ucapan atau doa abu nawas dahulu kala,lantunan kata-kata ini membuat saya merasa tenang lahir dan batin dan membuat saya merasa begitu berdosa dan semangat beristiqomah agar memperkuat iman.
mendengarkan lagu ini juga membuat saya tegar menghadapi segala cobaan yang ada di hidup ini entah dari mana saja,karena membuat kita berpasrah diri kepada Allah SWT, setiap cobaan yang datang karena setiap cobaan yang datang berasal dariNya,dan maka itu saya harus sering mengigatNya.

Akhirnya lyrik lagu itu membuat saya ingin mencari tahu dari buku maupun googling sejarah mengapa abu nawas bisa mengucapkan kata-kata itu,berikut adalah sejarah abu nawas dengan syair I'tiraf:

Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat.
Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata :
"Ilahi lastu lil firdausi ahlan
Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii
fahabli taubatan waghfir dzunuubi
fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii
dzunuubi mitslu a’daadir rimali
fahablii taubatan yaa dzal jalaali
wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi
wa dzambii zaa idun kaifahtimali
ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka
muqirran bi dzunubi waqad da’aaka
fa in taghfir faanta lidzaka ahlun
wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “


Yang artinya ;
” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu
Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU.
Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku.
Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar.
Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung…
Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari…
Bagaimana aku mampu menanggungnya ?
Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU
Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU
Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?”


Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang.
Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita.
Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba.
Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191)
Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?”
Rasulullah pun menjawab, ”Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “
Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita pada-NYA.
Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ?

adapun kisah lainnya yang di kemas lebih jenaka tapi menginspirasi sekali,berikut ceritanya:
alkisah ada perbincangan hangat antara abu nawas dan muridnya ;
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang pertama.
“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang kedua.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang ketiga.
“Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
“Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”
“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati.”
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas. “Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abu Nawas mengandaikan.
“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.
“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah.”
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”
“Mungkin.” jawab Abu Nawas.
“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas
“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas “Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi.
Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Rabu, 07 April 2010

Sholawat Nariyah

اللهم صل صلاة كاملة، وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذى تنحل به العقد، وتنفرج به الكرب، وتقضى به الحوائج، وتنال به الرغائب، وحسن الخواتم وسيتشقى الغمام بوجهه الكريم، وعلى أله وصحبه فى كل لمحة ونفس بعدد كل معلوم لك
Allohumma sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil qurobu wa tuqdho bihil hawaaiju wa tunalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa yustasqol ghomamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’lumin laka

Artinya : Ya Alloh berilah sholawat dengan sholawat yang sempurna dan berilah salam dengan salam yang sempurna atas penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, semua diakhiri dengan kebaikan, hujan diturunkan, berkat dirinya yang pemurah, juga atas keluarga dan sahabat-sahabatnya dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas sebanyak hitungan segala yang ada dalam pengetahuanMU
Sholawat ini pernah diijazahkan oleh ustadz Mawardi, salah seorang muthowwif jamaah hajji Tazkia yang sudah menetap lama di Saudi. Sholawat ini hendaknya dibaca 11 kali setelah sholat fardhu. Sholawat ini banyak faedahnya
Belakangan setelah beberapa waktu berlalu saya membaca kitab terjemahan Afdhal al Salawat ‘ala Sayyid as Sadat karangan Yusuf bin Ismail an Nabhani (diterjemahkan oleh Muzammal Noer dengan judul Bershalawat untuk mendapat keberkahan hidup, dengan penerbit Mitra Pustaka, Cetakan I Desember 2003 hal 302)
Imam Ad Dinawari berkata : Siapa saja membaca shalawat setiap selesai sholat sebanyak 11 kali dan ia menjadikannya sebagai bacaan rutin maka rizkinya tidak akan pernah putus dan ia mendapatkan derajat yang tinggi…

Astaghfirullah Robbal Barooyaa Astaghfirullah Minal Khotooyaa


Wahai hati dan diriku cepatlah...TAUBAT


Robbi Zidhnii 'ilman naafi'aa
Wa waafiqlii 'amalan magbuullaan
Wa waahablii rizqon waasi'aa
Watub 'alaiya taubatan nasuuhaa
Watub 'alaiya taubatan nasuuhaa

Diriku,
Hidup di dunia sebentar saja
Sekedar singgah sekejap mata
Jangan terpesona jangan terpedaya
Akhirat nanti tempat pulangku
Akhirat nanti kehidupan sebenarnya

Diriku,
Jika Allah & akhirat adalah tujuanku
Nescaya dunia akan melayaniku

Namun jika dunia adalah tujuanku
Niscaya akan letih dan pasti sengsara
Diperbudak dunia sampai akhir masa

Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar
segala sikap dan kataku
Tiada yang luput satupun jua
Allah takkan lupa selama-lamanya
Allah takkan lupa selama-lamanya

Ayo,
Cepatlah taubat wahai hatiku
Karena ajal kian mendekat
Takutlah siksa yang menghancurkan
Azab jahanam sepanjang Zaman
Azab jahanam sepanjang zaman

Ingatlah maut pasti kan menjemput
Putuskan nikmat dan cita-cita
Tak dapat ditolak tak dapat dicegah

Bila waktu hidup berakhir sudah
Bila waktu hidup berakhir sudah

Tubuhku kaku terbungkus kafan
Tiada guna harta pangkat jabatan
Tinggallah ratap dan penyesalan
Menanti pengadilan yang menentukan
Menanti perngadilan yang menentukan

Astaghfirullah Robbal Barooyaa
Astaghfirullah Minal Khotooyaa